INFORMASIMERAHPUTIH.com | Jakarta | keputusan MK menyisakan polemik bukan hanya bagi CaPres maupun CaWaPres 2024 tapi juga menimbulkan keresahan di masyarakat. Dengan MK mengadili perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A bersama kuasa hukumnya Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dan kawan-kawan.
Permohonan ini diterima MK pada 3 Agustus 2023. Adapun pokok perkara yang diajukan adalah pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Membaca situasi yang dirasakan menjadi polemik, KAMI menyelenggarakan diskusi publik perihal pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bertempat di kantor KAMI Menteng tampak hadir sebagai nara sumber Refly Harun dan Ahmad Yani serta Presidium KAMI seperti biasanya minus Din Syamsudin, Bachtiar Chamsyah, Adi Masardi, Gede Sriana (18/10/2023).
Refly Harum sempat mengingatkan “Mengenai keputusan cacat secara moral dan tidak dapat dilaksanakan, karena Mahkamah Konstitusi tidak diberikan mandat menambah secara norma. Hal ini berarti PKPU harus merubah kembali aturan yang sudah ditetapkan dan harus ada persetujuan DPR dan Presiden.”
“Dikarenakan saat ini DPR reses maka seandainya ingin melaksanakan hasil dari putusan MK tersebut Presiden dapat mengeluarkan PerPu.” Ujar Ahmad Yani.
“Dari segi hukum putusan ini tetap cacat hukum, PKPU belum bisa dilakukan perubahan.”
Bachtiar Chamsyah sempat mempertanyakan bagaimana pertanggung jawaban bagi Hakim – hakim Konstisusi seandainya menimbulkan polemik.
“Ada mekanisme dari Mahkamah Konstitusi mengenai kode etik dan conflict of interest dan Deny Indrayana sempat mengajukan namun tidak diproses.” Ulas Refly Harun
Didalam pernyataan sikap KAMI yang diungkapkan oleh Jend. (Purn) Gatot Nurmantyo sempat mengulas tentang perjalanan karier Gibran Rakabumi di awal pencalonannya sebagai Walikota Solo, karena PDIP punya prosedur pengajuan secara bertahap.
Didasarkan antropologi Budaya Kerajaan-Kerajaan Indonesia dalam pengambilan keputusan melalui 3 cara, melalui diskusi, melalui pernikahan dan melalui peperangan. Sudah menjadi hal yang lumrah apabila seorang anak meneruskan kedudukan sang ayah di kerajaan meskipun menabrak aturan hukum yang berlaku, hingga membuat langkah-langkah untuk dapat mewujudkan keinginannya, maka dapat dikatakan pengangkatan sang anak melanggar aturan.
“Jangan sampai terjadi perbuatan amoral, karena disini kita mengajarkan pada generasi bangsa Indonesia mengenai budi pekerti, moral dan etika yang baik dalam menjalankan pemerintahan.” ujarnya Gatot.
” Yang perlu diingatkan apabila terjadi polemik dari keluarnya keputusan, agar Hakim-hakim ini mengundurkan diri untuk kehormatannya, sehingga dapat meninggalkan sejarah yang baik pada keluarganya, jangan sampai terjadi perbuatan amoral tentang dirinya menjadi bingkai karir di tugas yang mereka emban.” Ungkapnya. (Red)
darisinimulainya